Senin, 07 Mei 2012

SISTEM PENGUPAHAN DALAM ISLAM

Salah satu pemicu utama polemik perburuhan adalah seberapa besar seorang pekerja mendapatkan upah dari pekerjaanya. Sebelum bicara lebih jauh berbicara tentang upah, terlebih dulu harus diperhatikan asumsi dasar pengupahan, yakni pertama, ada hubungan yang signifikan antara upah dengan perolehan laba; dan kedua, ada tindakan tidak maksimal dari pihak buruh jika upah tidak diperhatikan. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik berkepanjangan antara pekerja dan pengusaha.
Kondisi kesejahteraan buruh yang sebagian besar belum memenuhi standar kebutuhan hidup minimum merupakan akibat dari serangkaian keadaan yang sangat tidak kondusif. Hal ini menyangkut kondisi pasar kerja yang labil, rendahnya mutu keterampilan pencari kerja, tuntutan mekanisme pasar bebas serta ditunjang kebijakan pemerintah dalam mengatur upah buruh yang belum merepresentasikan kebutuhan buruh.
Sementara itu, Islam sebagai ajaran universal memiliki konsep normatif upah pekerja yang diharapkan mampu mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab realitas ketenagakerjaan kontemporer di bawah hegemoni sistem kapitalisme. Ajaran Islam pada dasarnya sangat memperhatikan pemenuhan kebutuhan manusia, baik terkait dengan diri, jiwa, akal, akidah, usaha, pahala dan lain-lain. Spiritualitas Islam yang tertuang dalam teks-teks korpus Qur`an sarat dengan idiom keadilan, kemanusiaan.
Islam mempunyai tradisi membela kaum lemah yang terhisap. Kalau marxisme menolak kapitalisme, kelas-kelas masyarkat, eksploitasi negara, penumpukan kekayaan, etika pencarian diri terutama menolak terhadap perbudakan manusia, Islam juga sangat menentang penghisapan dan penindasan. Islam berusaha mendobrak kebudayaan penindas yang telah lama mengakar pada jaman Jahiliyah. Islam dalam prerspektif teologi kaum tertindas pada dasarnya merupakan agama pembebasan. Al Qur’an selalu berpihak pada orang-orang tertindas: “Dan Kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan orang-orang yang mewarisi.”
Meski al Qur’an dan al Sunnah banyak memberikan ajaran bagaimana seharusnya setiap manusia berhubungan dengan orang lain, bahkan semangat pembebasan itu tidak sekedar diajarkan tetapi juga dipraktekkan oleh Nabi Muhammad, tetapi masih sangat minim konsep islam tentang pengupahan, apalagi menjadi rujukan teori upah dalam ilmu ekonomi. Tulisan ini hendak melacak teori pengupahan islam, dengan harapan dapat memberikan kontribusi positif bagi penegakan hubungan industrial antara pekerja dan majikan secara lebih adil.

UPAH TENAGA KERJA.
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Afzalur Rahman mendefinisikan upah sebagai harga yang dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor produksi lainnya, tenaga kerja diberi imbalan atas jasanya yang di sebut upah. Dengan kata lain, upah adalah harga dari tenaga yang dibayar atas jasanya dalam produksi.
Secara lebih luas upah terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian.  Sedangkan gaji menurut pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali.  Sehingga dalam pengertian barat, Perbedaan gaji dan upah itu terletak pada jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan atau tidak).
Skala upah dan struktur upah sangat bermanfaat terhadap kestabilan upah, baik untuk jangka waktu menengah maupun jangka panjang serta memenuhi rasa keadilan, pekerja yang mempunyai masa kerja lebih lama akan dapat memperoleh upah yang relatif lebih besar dibanding dengan pekerja yang bermasa kerja baru.
Masalah upah ini sangat penting dan berdampak sangat luas. Upah pekerja akan berdampak pada kemampuan daya beli yang akhirnya mempengaruhi standar kehidupan pekerja dan keluarganya, bahkan masyarakat umum. Jatuhnya daya beli masyarakat dalam waktu panjang sangat merugikan industri-industri yang menyediakan barang-barang konsumsi. Di samping itu, ketidak adilan terhadap golongan pekerja akan menyebabkan kekacauan dan menimbulkan aksi terhadap industri berupa pemogokan kerja.

TEORI UPAH.
Ada beberapa pendapat yang besar di kalangan ekonom terkait masalah pengupahan. Seberapa besar upah seorang pekerja dan bagaimana upah tersebut di tetapkan? Para ekonom berbeda pendapat dalam hal ini, sebagian mengatakan upah ditetapkan berdasarkan tingkat kebutuhan hidup, sedangkan yang lainnya menetapkan berdasarkan ketentuan produktivitas marginal.
Menurut teori ekonomi konvensional kekayaan akan bertambah searah dengan peningkatan ketrampilan dan efisiensi para tenaga kerja, dan sejalan dengan persentase penduduk yang terlibat dalam proses produksi. Kesejahteraan ekonomi setiap individu tergantung pada perbandingan antara produksi total dengan jumlah penduduk atau yang dewasa ini disebut pendapatan riil per kapita.
Sementara itu menurut Adam Smith, pembayaran uang yang terbesar untuk membiayai produksi dan distribusi ialah upah, sewa dan laba. Dari pengamatannya terhadap apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, sistem kebebasan alamiyah yang sederhana dan gambling, selain menguntungkan kapitalisme juga mengandung beberapa kelemahan mendasar. Agar dapat menikmati keuntungann berupa meningkatnya kekayaan, masyarakat harus dapat meyakinkan orang agar mau menabung dan menanamkan uangnya dalam persediaan (stock) atau apa yang sekarang disebut sebagai modal. Dengan demikian upah para pekerja tidak dapat dibayarkan seluruhnya sebanyak nilai riil produk yang dihasilkannya, karena sebagian dari nilai riil tersebut harus disediakan untuk laba. Laba merupakan unsur mutlak dari sebuah produksi.
Orang-orang Kapitalis menghargai daya kerja seorang pekerja dengan upah yang wajar. Upah yang wajar menurut mereka, yaitu biaya hidup dengan batas minimum. Mereka akan menambah upah tersebut, apabila beban hidupnya bertambah pada batas yang paling minim. Sebaliknya mereka akan menguranginya, apabila beban hidupnya berkurang. Oleh karena itu, nilai tukar seorang pekerja ditentukan berdasarkan beban hidupnya, tanpa memperhatikan jasa yang diberikan oleh tenaga seseorang.  
Sedangkan menurut Sosialis, nilai suatu barang harus sama dengan biaya-biaya untuk menghasilkan barang, yang di dalamnya termasuk ongkos tenaga kerja berupa upah alami. Upah alami yang diterima buruh tidak cukup sekedar penyambung hidup, khususnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan yang sangat pokok saja. Upah alami yang diterima buruh hanya cukup sekedar penyambung hidup, khususnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan yang sangat pokok saja. Pada hal nilai hasil dari suatu kerja para buruh jauh lebih besar dari jumlah yang diterima mereka sebagai upah alami.
Kelebihan nilai produktivitas kerja kaum buruh atas upah alami inilah yang disebut Marx sebagai nilai lebih, yang hanya dinikmati oleh para pemilik modal. Makin kecil upah yang dibayarkan pada kaum buruh, makin besar nilai lebih yang dinikmati oleh pemilik modal, yang menurut Marx berarti penghisapan atau eksploitasi dari pemilik modal atas kaum buruh. Pada dasarnya teori ini diambil dari ahli ekonomi Kapitalis Adam Smith. Kemudian balas menyerang Smith dengan teori tersebut. Menurutnya, nilai suatu barang harus sama dengan biaya-biaya untuk menghasilkan barang, yang di dalamnya termasuk ongkos tenaga kerja berupa upah alami.
Kelebihan nilai produktivitas kerja kaum buruh atas upah alami inilah yang disebut Marx sebagai nilai lebih, yang hanya dinikmati oleh para pemilik modal. Makin kecil upah yang dibayarkan pada kaum buruh, makin besar nilai lebih yang dinikmati oleh pemilik modal, yang menurut Marx berarti penghisapan atau eksploitasi dari pemilik modal atas kaum buruh.
Ukuran nilai tukar sebenarnya adalah kerja. Ukuran nilai tukar dari sebuah komoditas adalah kerja yang memungkinkan seseorang membeli atau menguasai komoditas yang lain dalam pasar. Dengan demikian bahwa kerja adalah ukuran alamiah dan faktor terakhir yang menentukan nilai suatu barang. Kerja sebagai kekuatan untuk membeli suatu barang dalam pasar. Dengan kata lain, ukuran sebenarnya dari nilai tukar suatu barang dalam sistem ekonomi adalah kerja sebagai daya tukar.
Menurut Marx  nilai-lebih itulah satu-satunya sumber laba sang kapitalis. Andaikata buruh boleh berhenti bekerja sesudah empat jam, pekerjaannya tidak mengahasilkan untung sama sekali bagi pemilik karena yang masuk lewat pekerjaan buruh bagi pemilik langsung akan keluar sebagai upah. Laba perusahaan  seluruhnya tergantung dari besar kecilnya nilai-lebih.
Bukanlah buruh industri bekerja dengan mesin yang melipatgandakan hasil kerjanya? Maka Marx menjawab bahwa itu memang betul, tetapi mesin itu sendiri harus dibeli dan dipelihara. Apabila biaya pembelian dan pemeliharaan mesin dikurangi dari harga produk akhir perusahaan, akan kelihatan bahwa satu-satunya keuntungan pemilik modal  adalah nilai lebih. Biaya pembelian dan pemeliharaan mesin-mesin sendiri juga ditentukan oleh tangan-tangan tenaga kerja. Dengan demikian  laba dari sebuah produksi sudah sepantasnya menengok jasa-jasa kaum pekerja industri.
Paling tidak ada enam teori yang menjelaskan besaran dan jenis upah yang mesti diterima buruh. Yaitu;
1.    Teori Subsistensi yang digunakan untuk pekerja yang tidak mempunyai keterampilan khusus. Upah, menurut teori ini, didasarkan pada tingkat subsistensi sesuai tingkat kebutuhan mendasar;
2.    Teori Dana Upah. Menurut terori ini, upah pekerja adalah bagian dari modal untuk berproduksi. Besaran upah pekerja akan selalu didasarkan pada  penambahan modal atau pengurangan jumlah pekerja;
3.    Teori Marginal Productivity. Menurut teori ini, upah tenaga kerja didasarkan pada permintaan dan penawaran tenaga kerja. Pengusaha akan menambah upah pekerja sampai batas pertambahan produktivitas marjinal minimal sama dengan upah yang diberikan pada mereka.
4.    Teori Bargaining. Teori ini mengandaikan ada batas minimal dan maksimal upah. Upah yang ada merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak;
5.    Teori Daya Beli. Teori ini mendasarkan permintaan pasar atas barang dengan upah. Agar barang terbeli, maka upah harus tinggi. Jika upah rendah, maka daya beli tidak ada, dan barang tidak laku. Jika hal ini dibiarkan, maka akan terjadi pengangguran besar-besaran;
6.    Teori upah hukum alam. Teori ini menyatakan bahwa upah ditetapkan atas dasar biaya yang diperlukan untuk memelihara atau memulihkan tenaga buruh yang telah dipakai untuk berproduksi.

SISTEM PENGUPAHAN DALAM ISLAM.
Menetapkan setandar upah yang adil bagi seorang pekerja sesuai dengan kehendak syari’ah bukanlah perkara yang mudah. Kompleksitas permasalahannya terletak pada ukuran apa yang akan dipergunakan, yang dapat  mentransformasikan  konsep upah yang adil dalam dunia kerja. Menurut Muhammad, sebagaimana dikutip Rustam Efendi kesulitan penetapan upah ini pernah terjadi dalam penetapan upah Khalifah Abu Bakr al Shiddiq. Umar bin Khattab bersama sahabat lain menetapkan gaji Abu Bakr dengan setandar yang mencukupi kehidupan seorang muslim golongan  menengah. Penetapan gaji ini masih samar sehingga Abu Bakr meminta ukuran penghasilan pedagang, yaitu 12 dirham perhari. Standar Abu Bakr ini adalah kerja yang memungkinkan seseorang mendapatkan penghasilan. Penghasilan harian atau bulanan seseorang secara umum dalam masyarakat dalam bekerja dapat menjadi standar pengupahan secara pantas.
Kerja adalah segala usaha dan ikhtiar yang dilakukan anggota badan atau pikiran untuk mendapatkan imbalan yang pantas. Termasuk semua jenis kerja yang dilakukan fisik maupun pikiran. Tenaga kerja sebagai salah satu factor produksi mempunyai arti yang besar, karena semua kekayaan alam tidak berguna bila tidak dioekloitasi oleh manusia dan diolah oleh pekerja. Fenomena ketenagakerjaan ini merupakan sunatullah yang logis. Setiap orang mencari dan bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kaitannya dengan bisnis, terjadilah hubungan simbiosis mutualisme antara pengusaha dan pekerja.
Secara implisit al Qur’an menerangkan tentang masalah kompensasi/upah dalam beberapa ayat, diantaranya: 

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى  ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى 
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna"
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ
(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan.

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلًا
"Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya asing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya"

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan"

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".

Sedangkan dalam hadith-hadith rasulullah tergambar jelas keberpihakannya atas nasib pekerja. Bahkan rasulullah tidak sekedar berteori tetapi mengamalkannya dalam kehidupan bisnis. Dalam hal hak buruh, secara tegas Rasul mengatakan; “Kepada buruh hendaknya diberikan makanan dan pakaian seperti kalian makan dan berpakaian, dan jangan bebani mereka yang melebihi kemampuannya/Li al-mamluki th’amuhu wa kiswatuhu, wa la yukallafu min al-‘amal ma la yuthiquhu.” dan dalam hadits lain Rasulullah menyuruh seorang pengusaha untuk memberikan upah buruh dengan segera ketika pekerjaanya telah selesai:
 عن ابن عمر أنّ النّبيّ صل الله عليه وسلم قال : الأجيرأجره قبل أن يجفّ عرقه  
Dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah bersabda: berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.(HR Ibnu Majah).

Dalam keterangan lain Nabi Muhammad SAW bersabda: Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.
Pembelaan Rasul dalam kedua riwayat tersebut, tidak bersifat ideologis: bahwa buruh selalu benar dan majikan salah. Sebab, dalam riwayat lain beliau juga mengecam buruh-buruh yang khianat dan tidak amanah. Pembelaan beliau sebenarnya berujung pada keadilan (al-‘adalah) dan kesetaraan (al-musawah).
Lebih lanjut dalam hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW bersabda: Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya(sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat  dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).
Dari ayat Alquran dan hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama pengupahan adalah keadilan yang terletak pada kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen melakukannya. Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah.
Hadits lain yang menjelaskan tentang pembayaran upah ini adalah: Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda: Allah telah berfirman: Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya. Hadits-hadits di atas menegaskan tentang waktu pembayaran upah, agar sangat diperhatikan. Keterlambatan pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada hari kiamat.

 عن عاءشة رضى الله عنها فى حديث الهجرة قالت: واستأجر النبى صلى الله وآله مسلم وأبوبكر رجلا من بنىالديل هادياخريتا والخريت الماهربالهداية وهو على دين كفارقريش وأمناه فدفعا اليه راحلتيهما ووعداه غارثوربعدثلاث ليال فأتاهمابراحلتيهما صبيحة ليال ثلاث فارتححلا . رواه أحمد والبخارى.
Nabi saw dan Abu Bakar ra mengupah seorang lelaki dari bani Al Dain untuk menjadi penunjuk jalan. Dia orang yang terampil dan masih menganut agama kafir Qurays. Beliau memberikan jaminan keselamatan terhadapnya. Beliau menyerahkan beberapa ekor unta, dan berjanji akan bertemu kembali di gua Tsur setelah tiga malam. Pada malam ketiga dia datang kembali dengan membawa kendaraannya, dan beliaupun berangkat”.

عن أبى هريرة عن النبى صلى الله وآله مسلم قال: مابعث الله نبيا إلارعى الغنم, فقالأصحابه: وأنت؟ قال:نعم, كنتأرعاهاعلى قراريط لأهل مكت. رواه أحمد والبخارى و ابن ماجه.
Nabi bersabda: Allah tidak mengutus seorang Nabi, melainkan dia adalah seorang yang pernah menjadi pengembala kambing. Sahabat bertanya: apakah anda juga seorang pengembala? Nabi menjawab: benar. Saya mengembala dengan pembayaran beberapa qirat untuk penduduk  Makkah”.

هُمْ إِخْوَانُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ جَعَلَ اللَّهُ أَخَاهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا يُكَلِّفُهُ مِنَ الْعَمَلِ مَا يَغْلِبُهُ فَإِنْ كَلَّفَهُ مَا يَغْلِبُهُ فَلْيُعِنْهُ عَلَيْهِ    
Para perkerja adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barang siapa mempunyai pekerja hendaklah diberi makanan sebagaimana yang ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa, ia harus dibantu"

عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بَخِيلٌ وَلَا خَبٌّ وَلَا خَائِنٌ وَلَا سَيِّئُ الْمَلَكَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَقْرَعُ بَابَ الْجَنَّةِ الْمَمْلُوكُونَ إِذَا أَحْسَنُوا فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَفِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَوَالِيهِمْ (رواه احمد)
Tidak masuk Surga orang pelit, penipu, pengkhianat, dan orang yang jelek pelayananannya terhadap majikan. Sedangkan orang yang pertama kali mengetuk pintu Surga adalah para pekerja yang baik terhadap sesamanya, taat kepada Allah, dan kepada majikannya.

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلًا وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ دَابَّةٌ فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ   (احمد)
Saya mendengar Nabi bersabda: Barang siapa mengangkat pekerja, jika ia tidak mempunyai rumah harus dibikinkan rumah; jika belum menikah harus dinikahkan; jika tidak mempunyai pembantu harus dicarikan pembantu; jika tidak mempunyai kendaraan harus diberikan kendaraan. Jika Majikan tidak memberikan hal tersebut, ia adalah pembunuh.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ حَتَّى يُبَيَّنَ لَهُ أَجْرُهُ وَعَنِ النَّجْشِ وَاللَّمْسِ وَإِلْقَاءِ الْحَجَرِ  ( احمد)
"Sesungguhnya Nabi melarang mempekerjakan buruh sampai ia menjelaskan besaran upahnya, melarang Lams, najash dan ilqa' al-hajr" 

Masuknya kompenen biaya hidup dalam upah, tidak semata-mata pertimbangan produktivitas kerja, memang masalah tersendiri jika majikan memetaforakan tenaga kerja sebagai mesin. Akan tetapi, dengan pertimbangan surplus value dan kemanusiaan, hal tersebut bisa diterima.
Kenaikan upah yang berujung pada tingginya biaya produksi ini pada akhirnya harus diantisipasi negara dalam kebijakan makro ekonominya agar tetap kompetitif dipasar. Penentuan harga dalam Islam didasarkan pada  prinsip koperasi dan persaingan sehat, bukannya persaingan monopoli seperti yang dibawa ekonomi kapitalis. Persaingan sehat disini bukan berati persaingan sempurna dalam arti modern, tetapi persaingan yang bebas dari spekulasi, penimbunan, penyelundupan, dan lain-lain. Penentuan harga yang timbul dari persaingan tidak sempurna telah melahirkan harga monopoli lebih tinggi daripada harga kompetisi, dan hasil yang dibuat di bawah kondisi bersaing yaitu persaingan tidak sempurna. Disamping itu, produksi monopoli lebih rendah daripada produksi kompetitif. Kenaikan Harga yang sebenarnya disebabkan oleh; 1] Bertambahnya persediaan uang; 2] Berkurangnya produktivitas; 3] Bertambahnya kemajuan aktifitas; dan 4. Berbagai pertimbangan fiscal dan moneter.
Dari ayat dan Hadith ini kita mengetahui bahwa besaran upah dikaitkan dengan hak dasar untuk hidup (hifz al-nafs) secara layak, bukan semata-mata oleh sejauh mana produktivitas mereka.
Sementara itu Taqiyuddin an Nabhani mengajukan penyelesaian gaji dengan konsep ijarah. ijarah adalah memanfaatkan jasa suatu kontrak. Apabila ijarah berhubungan dengan seorang pekerja (ajir) maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya. Karena itu, untuk mengontrak seorang pekerja harus ditentukan jenis pekerjaan, waktu, upah dan tenaganya. Ijarah mensyaratkan agar honor transaksi yang jelas, dengan bukti dan ciri yang bisa menghilangkan ketidakjelasan. Kompensasi ijarah (upah, honor, gaji) boleh tunai dan boleh tidak, boleh dalam bentuk harta ataupun jasa. Intinya, apa saja yang bisa dinilai dengan harga boleh dijadikan sebagai kompensasi, dengan syarat harus jelas.
An Nabhani juga tidak mendasarkan upah pada kebutuhan hidup. Ia mendasarkan upah pekerja pada jasa atau manfaat yang diberikan pekerja dengan perkiraaan ahli terhadap jasa tersebut di tengah masyarakat. Jika upah telah disebutkan pada saat akad maka upah yang berlaku adalah upah yang disebutkan, sedangkan jika upah belum disebutkan, atau terjadi perselisihan di dalamnya, maka upah yang diberlakukan adalah upah yang sepadan.
Karena itu, upah dapat diklasifikasikan  menjadi dua: (1) upah yang telah disebutkan pada saat akad yang dikenal dengan ajr al musamma, (2) upah yang sepadan atau ajr al mitsl. Ajr al musamma ketika disebutkan harus diiringi dengan kerelaan kedua belah pihak yang berakad. Dalam kondisi demkian, pihak majikan (musta’jir) tidak boleh dipaksa untuk membeyar upah lebih besar dari apa yang telah disebutkan, dan pihak pekerja (ajir) juga tidak dipaksa menerima upah yang lebih kecil daripada yang telah disebutkan.
Adapun ajr al mitsli adalah upah yang sepadan dengan kerja maupun pekerjaanya sekaligus jika akad ijarahnya menyebutkan jasa kerjanya. Upah sepadan adalah upah yang sepadan dengan pekerjaanya saja jika akad ijarahnya menyebutkan jasa pekerjaanya.
Sedangkan al Mawardi, berpendapat bahwa dasar penetapan upah pekerja adalah setandar cukup, artinya gaji atau upah pekerja dapat menutupi kebutuhan minimal. Pendapat ini cenderung sama dengan pemikiran kapitalis yang menetapkan upah pada kebutuhan hidup minimal, yang kemudian dikenal di Indonesia dengan konsep Upah Minimum Kabupaten (UMK).
Berkaitan dengan masalah kontak kerja antara pengusaha dan pekerja. Islam telah mengatur agar kontrak kerja dan kerjasama antara pengusaha dan pekerja tersebut saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa dizalimi oleh pihak lainnya. Islam mengatur secara jelas dan rinci hukum-hukum yang berhubungan dengan ijârah al-ajîr (kontrak kerja). Transaksi ijârah yang akan dilakukan wajib memenuhi prinsip-prinsip pokok transaksi ijârah. Di antaranya adalah: jasa yang ditransaksikan adalah jasa yang halal, bukan jasa yang haram; memenuhi syarat sahnya transaksi ijârah, yakni orang-orang yang mengadakan transaksi haruslah yang sudah mampu membedakan baik dan buruk; harus didasarkan pada keridhaan kedua pihak, tidak boleh karena ada unsur paksaan. Transaksi ijârah juga harus memuat aturan yang jelas menyangkut bentuk dan jenis pekerjaan, masa kerja, upah kerja, dan tenaga yang dicurahkan saat bekerja.
Dengan demikian, sebenarnya persoalan perburuhan secara etis telah lama dijawab agama Islam. Pandangan agama yang membela kaum lemah ini telah memberi skema etis agama Islam dalam menjaga kemaslahatan umatnya, kaum buruh. Sayangnya, banyak mufasirin (penafsir) tidak menindak lanjuti ayat-ayat al Qur’an dan al Hadith dengan konsep hukum yang detail, seperti memunculkan fikih perburuhan misalnya
Karena hukum etika saja tidak cukup dalam mengangkat derajat kaum buruh. Etik tidak punya daya untuk menghukum, hanya sebatas rambu-rambu pengingat saja. Padahal, kaum buruh tidak memiliki daya tawar yang sepadan dengan pengusaha atau pemerintah. Faktanya, selama ini ajaran Islam berjalan stagnan sementara posisi umatnya, kaum buruh semakin tidak terlindungi. Sehingga mau tidak mau kita harus menyeimbangkan/menyelaraskan ajaran Islam dengan fakta sosial yang ada saat ini.
Agar Islam tidak terjebak dalam ritus individualistik yang tidak berisi dan agama menjadi gagap ketika diberi beban untuk mengurusi realitas sosial, maka dibutuhkan upaya penafsiran yang memihak lebih konkrit dari kaum beragama terhadap ajaran agamanya dalam melihat isu perburuhan. Ulama Islam harus berpikir untuk memiliki “fikih perburuahan” yang dapat menjadi panutan (guide line) umatnya dalam menghadapi masalahnya. Fikih yang sebagai konsep normatif yang bersifat operasional dalam agama Islam diharapkan mampu menegaskan dan memperkuat etika Islam yang melindungi buruh.
Selama ini, perburuhan adalah wacana yang langka dalam perbincangan Islam. Kelangkaan ini disebabkan tidak adanya ulama Islam yang peduli terhadap isu-isu perburuhan. Selain itu kelangkaan fikih ini karena keterbatasan sumber-sumber otoratif yang memungkinkan dilakukan kajian Islam dan perburuhan secara komperehensif dan mendalam. Kelangkaan ini mengakibatkan umat kesulitan mendapatkan ajaran-ajaran yang dapat menjadi pedoman bagaimana melindungi buruh. Sehingga, penggalian teks-teks suci yang dapat melindungi kaum buruh akan mempersepit praktik pelanggaran hak asasi manusia.
Dokumentasi hukum perburuhan ini memiliki posisi yang signifikan dan kontekstual dengan fenomena global saat ini, yaitu era industrial. Seperti apa jawaban Islam yang tegas dan konkrit dalam melihat problem perburuhan akan menentukan eksistensi Islam ke depan. Sudah tentu masalah perburuhan sekarang jauh berbeda dengan situasi perburuhan pada awal kemunculan Islam. Persekongkolan teknologi, akan memunculkan produk massal dalam industri manufaktur; modal tidak lagi berpusat dalam lingkup regional, tetapi berputar dalam ekonomi global tanpa bisa dikontrol. Dan salah satu komunitas rentan dan semakin hilang daya tawarnya tentu adalah kaum buruh. Nah apa jawaban Islam terhadap problematika perburuhan yang semakin kompleks ini.
Tentu saja, agama harus dikembalikan fungsi dan relevansinya dalam mengikuti percepatan gerak sosial. Sudah seharusnya pemaknaan Qur`an menjadi bernuansa sosialistik (memihak kepada umat tertindas). Korpus suci ini tidak lagi duduk dalam titik netral tetapi menjadi radikal dengan menemukan kembali irama pembebasannya, guna mengantar umat menjalani proses humanisasi tanpa eksploitasi sedikitpun. Islam mengidamkan terbentuknya masyarakat tauhidi. Dan untuk menuju cita-cita tersebut bisa dimulai dengan memikirkan perlindungan umatnya, kaum buruh. Dengan menyusun fiqih perburuhan adalah salah satu caranya.


1.    Pengertian Harta
Harta dalam bahasa Arab disebut al-mal yang berasal dariمال, يميل, ميلا yang bercondong, cenderung dan miring. Berdasarkan termonologi dalam Ensiklopedi hokum Islam, harta adalah Sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan) pada saat diperlukan.
a.    Menurut Hanafiyah
Harta adalah segala sesuatu yang dapat dihimpun, disimpan (dipelihara) dan dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan).
b.    Menurut Jumhur Ulama’
Harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai dan diwajibkan ganti rugi atas orang yang merusak atau melenyapkannya.
c.     Sementara Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddieqy
Yang dimaksud dengan harta adalah:
1)    nama selain manusia yang diciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat dan dikelola dengan jalan ikhtiyar.
2)    Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh s eluruh manusia maupun oleh sebagian manusia.
3)    Sesuatu yang sah untuk diperjual belikan.
4)    Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga)
5)    Sesuatu yang berwujud, sesuatu yang tidak berwujud meskipun dapat diambil manfaatnya tidak termasuk harta.
6)    Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.
2.    Kedudukan Harta
        Kedudukan harta dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
a.    Dalam Al-Qur’an
اِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ َاوْلَا دُكُمْ فِتْنَةُ وَ اللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ
Artinya; Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan dan disisi Allah lah pahala yang besar (Qs: At-Taubah)

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا (٤٦)

Artinya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.(QS. Ak-Kahfi: 34)
b.    Dalam As-sunnah
تعيس عبد الدنيار و عند الدراهيم و عبد الخميضة ان أعطي رضي وان لم يعط سخط, تعس وانتكس و اذاشيك فلاانتفش (رواه البخارى)

“Celakalah orang yang menajdi hamba dinar (uang) orang yang menajdi hamba dirham, orang yang menjadi hamba toga atau pakaian, jika diberi, ia mearsa bangga, bila tidak diberi ia marah mudah-mudahan dia celaka dan merasa sakit, jika dia kena musibah dia tidak akan memperoleh jalan keluar” (HR. Bukhari).
لعن عبد الدنيار لعن عبد الدرهم (رواه الترميذ)
“Terkutuklah orang yang menjadi hamba dinar dan terkutuk pula orang yang menjadi hamba dirham (HR.  Tirmidzi).

3.    Fungsi Harta
a.    Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas sebab untuk ibadah diperlukan alat-alat seperti kaun untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat.
b.    Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah, sebab kekafiran cenderung mendekatkan diri kepada kekufuran sehingga kepemilikan harta dimaksudkan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah.
c.    Untuk meneruskan kehidupan dari satu period eke periode berikutnya.
d.    Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan  dunia dan akhirat.
e.    Untuk megembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu karena menuntut ilmu tanpa modal akan terasa sulit.
f.    Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.
g.    Untuk menumbuhkan silaturahmi, karena adanya perbedaan dan keperluan.
Al-Hajru adalah larangan bagi seseorang untuk mengelola kekayaan karena masih kecil atau akalnya tidak sempurna.Allah melarang memberi harta kepada para pemilik yang tidak mampu mengelola hartanya dengan baik. Seperti anak yatim yang belum baligh, orang yang bodoh, dan orang yang padir. Mata harta tersebut harus diserahkan kepada walinya yang sanggup mengelola harta tersebut dengan baik. Jika harta tersebut diserahkan kepada orang yang bodoh atau orang yang padir dikhawatirkan harta itu habis karena harta tersebut tidak dikelola dengan baik.
Dalam surat Al-Baqarah 282 Allah menerangkan tentang ketentuan-ketentuan dalam muamalah yang harus didasarkan pada keadilan dan kerelaan masing-masing pihak. Sehingga menghilangkan prasangka dan keragu-raguan. Dalam melakukan transaksi muamalah dianjurkan melengkapi dengan alat bukti dan saksi sehingga dapat diartikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari. Dan diterangkan pula apabila seseorang dinyatakan dibawah pengampuan wali atau hakim, Tidaklah berarti hak asasinya dibatasi dan pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia. Tetapi pengampuan itu diberlakukan  syara’ untuk menunjukan ,bahwa syara’ itu benar-benar memperdulikan orang-orang seperti itu, Terutama soal muamalah, syara’ menginginkan , Agar tidak ada yang dirugikan atau merugikan orang lain. Dengan demikian, Apabila ada anak kecil, orang gila, dungu dan pemboros, Distatuskan dibawah pengampuan, maka hal itu semata-mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang dersangkutan, agar segala kegiatan muamalah yang  mereka lakukan tidak sampai ditipu orang.
Pada makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang Al-Hajru yang terdapat pada surat al-nisa ayat 5 dan Al-Baqarah Ayat 282.



PEMBAHASAN


1.    Al-Nisa’ : 5
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا (٥)
Artinya :
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnyaharta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”


Pemeliharaan     :    قِيَامًا    Dan Jangan     :    وَلا     
Beri mereka belanja     :    وَارْزُقُوهُمْ    Kalian serahkan     :    تُؤْتُوا     
Padanya     :    فِيهَا    Orang-orang bodoh     :    السُّفَهَاءَ     
Beri mereka pakaian     :    وَاكْسُوهُمْ    Harta kalian     :    أَمْوَالَكُمُ     
Berkatalah kalian     :    وَقُولُوا    Yang     :    الَّتِي     
Kepada mereka     :    لَهُمْ    Menjadikan     :    جَعَلَ     
Perkataan     :    قَوْلا    Allah     :    اللَّهُ     
Yang baik     :    مَعْرُوفًا    Bagi kalian     :    لَكُمْ    

Tafsir Al-Mufrodat
السُّفَهَاءَ    :    (kepada orang-orang bodoh) artinya orang-orang yang boros dan kalangan laki-laki, wanita dan anak-anak
أَمْوَالَكُمُ    :    (harta kamu) maksudnya harta mereka yang berada dalam tanganmu.
قِيَامًا    :    Penopang hidup dan pembela kepentinganmu, karena akan mereka habiskan bukan pada tempatnya.
قَوْلا مَعْرُوفًا    :    Kota-kota yang baik (misalnya janjikan jika mereka telah dewasa, maka harta mereka itu akan diberikan semuanya kepada mereka.)

Tafsir Ayat
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
Meskipun harta itu jelas harta mereka sendiri, hak mereka sendiri, tetapi di dalam ayat ini dikatakan, bahwa harta itu adalah harta kamu yaitu harta kamu yang mencakup dalam masyarakat Islam. Menjadi kewajibankah menjaga, agar harta itu jangan punah sesampai di tangan orang yang punya yang tidak pandai atau belum pandai mentadbirkannya, padahal harta itu adalah pokok penghidupan kalau harta itu diserahkan kepada di pander atau si pemboros sehingga habis, maka terlantarlah hidupnya dan melaratlah dia. Oleh sebab itu harta tidak boleh diberikannya kepadanya, walaupun dia anak yatim.
Para wali dan pelaksana wasiat yang memelihara anak yatim agar menyerahkan harta anak yatim yang ada dalam kekuasaannya apabila anak yatim itu telah dewasa dan telah dapat menjaga hartanya. Apabila belum mampu maka tetaplah harta tersebut dipelihara dengan sebaik-baiknya karena harta adalah modal kehidupan.
Kebodohan atau kepandaian itu ada yang sementara yaitu pertama, selama anak belum baligh dan belum dapat berdiri sendiri. Setelah anak dapat berdiri sendiri dan dipercaya, bahwa dia tidak akan menyia-nyiakan, barulah harta diserahkan, kedua, perempuan yang tidak pandai menjalankan hartanya. Kalau dia sudah bersuami dan suaminya itu bisa dipercaya, boleh hartanya diserahkan kepadanya. Atau perempuan itu sendiri telah sanggup, baru diserahkan.

وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ
(وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا), bukan minha, menurut pakar-pakar tafsir bertujuan untuk memberi isyarat bahwa harta hendaknya dikembangkan. Modal yang ada hendaknya tidak dibiarkan begitu saja, tetapi harus produktif dan menghasilkan keuntungan, sehingga biaya hidup mereka yang belum mampu mengelola harta itu diambil dari keuntungan pengelolaan, bukan dari modal, seandainya ayat ini menggunakan kata minha yang berarti dirinya, maka biaya hidup ini diambil dari modal dan isyarat diatas tidak akan tergambar. Mereka diberi makanan, pakaian dan hasil pengelolaan dan keuntungan modal tersebut, bukan dari modal sebab jika demikian, harta mereka otomatis akan habis dimakan.
َقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا
Kata-kata yang baik adalah katakana terus terang, bahwa harta itu adalah milik mereka siwali hanya memagang dan mentadbir, jika yang diasuhnya orang safih (menyiar-nyiarkan harta), hendaknya sang wali memberikan petuah dan nasehat padanya agar tidak menyia-nyiakan harta dan berlaku boros, kemudian berilah ia pengertian bahwa akibat boros adalah kemiskinan.

2.    Al-Baqarah : 282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُب وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ
ْ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Kalian berutang-piutang    :    تَدَايَنْتُمْ    Wahai      :    يَا أَيُّهَا     
Dengan utang     :    بِدَيْنٍ    Orang yang     :    الَّذِينَ     
Sampai     :    إِلَى    Mereka beriman     :    آمَنُوا     
Waktu     :    أَجَلٍ        Apabila     :    إِذَا     
Pada Allah     :    اللَّهُ    Yang ditentukan     :    مُسَمًّى     
Tuhannya     :    رَبَّهُ    Mata hendaklah     :    فَاكْتُبُوهُ
Kalian catat      
Dan janganlah     :    وَلا    Dan hendaklah     :    وَلْيَكْتُبْ
Menulis      
Ia mengurangi     :    يَبْخَسْ    Diantara kalian     :    بَيْنَكُمْ     
Dari padanya     :    مِنْهُ    Seorang penulis     :    كَاتِبٌ     
Sesuatu/sedikitpun    :    شَيْئًا    Dengan adil    :    بِالْعَدْلِ     
Maka jika     :    فَإِنْ    Dan tidak boleh     :    وَلا     
Adalah dia     :    كَانَ    Enggan     :    يَأْبَ     
Orang yang    :    الَّذِي    Seorang penulis     :    كَاتِبٌ     
Atasnya     :    عَلَيْهِ    Untuk     :    أَنْ     
Hak (yang berutang)    :    الْحَقُّ    Menulis     :    يَكْتُبَ     
Lemah akal     :    سَفِيهًا    Sebagaimana     :    كَمَا     
Atau     :    أَوْ    Telah mengajarkannya :    عَلَّمَهُ     
Lemah (keadaannya)    :    ضَعِيفًا    Allah     :    اللَّهَ     
Atau     :    أَوْ    Maha Hendaklah     :    فَلْيَكْتُبْ
Ia menulis      
Tidak     :    لا    Dan hendaklah     :    وَلْيُمْلِلِ
membacakan      
Ia mampu     :    يَسْتَطِيعُ    Orang yang     :    الَّذِي     
Untuk     :    أَنْ    Atasnya     :    عَلَيْهِ     
Membacakan (nya)     :    يُمِلَّ    Hak     :    الْحَقُّ     
Ia     :    هُوَ    Dan bertaqwalah     :    وَلْيَتَّقِ     
Disisi Allah     :    عِنْدَ اللَّهِ    Maka hendaknya     :    فَلْيُمْلِلْ
Membacakan (nya)     
Dan lebih menguatkan :    وَأَقْوَمُ    Walinya     :    وَلِيُّهُ     
Bagi persaksian     :    لِلشَّهَادَةِ    Dengan adil     :    بِالْعَدْلِ     
Dan lebih dekat     :    وَأَدْنَى    Dan persaksikanlah    :    وَاسْتَشْهِدُوا     
Untuk tidak     :    أَلا    Dua orang saksi     :    شَهِيدَيْنِ     
Bahwa     :    أَنْ    Dari     :    مِنْ     
(mu’amalah itu)     :    تَكُونَ
adalah    Lelaki kalian     :    رِجَالِكُمْ     
Perdagangan     :    تِجَارَةً    Maka jika     :    فَإِنْ     
Hadir/tunai     :    حَاضِرَةً    Tidak ada     :    لَمْ يَكُونَا     
Kalian jalankan     :    تُدِيرُونَهَا    Dua orang lelaki    :    رَجُلَيْنِ     
Diantara kalian     :    بَيْنَكُمْ    Maka seorang lelaki    :    فَرَجُلٌ     
Maka tidak ada     :    فَلَيْسَ    Dan dua orang     :    وَامْرَأَتَانِ
perempuan      
Atas/bagi kalian     :    بَيْنَكُمْ    Dari orang yang     :    مِمَّنْ     
Dosa     :    جُنَاحٌ    Kalian ridhai     :    تَرْضَوْنَ     
Untuk tidak     :    أَلا    Dari     :    مِنَ     
Kalian menulisnya     :    تَكْتُبُوهَا    Saksi-saksi     :    الشُّهَدَاءِ     
Dan persaksikanlah    :    وَأَشْهِدُوا    Bahwa     :    أَنْ     
Apabila     :    إِذَا    (jika) lupa     :    تَضِلَّ     
Kalian berjual beli    :    تَبَايَعْتُمْ    Salah seorang dari     :    إِحْدَاهُمَا
keduanya      
Dan jangan     :    وَلا    Maka mengingatkan    :    فَتُذَكِّرَ     
Saling menyulitkan     :    يُضَارَّ    Salah seorang dari     :    إِحْدَاهُمَا
keduanya      
Penulis     :    كَاتِبٌ    Yang lain    :    الأخْرَى     
Dan jangan     :    وَلا    Dan jangan     :    وَلا      
Saksi     :    شَهِيدٌ    Enggan     :    يَأْبَ     
Dan jika     :    وَإِنْ    Saksi-saksi itu     :    الشُّهَدَاءُ     
Kalian lakukan     :    تَفْعَلُوا    Apabila     :    إِذَا مَا     
Maka sungguh itu     :    فَإِنَّهُ    Mereka dipanggil     :    دُعُوا     
Kefasikan     :    فُسُوقٌ    Dan jangan     :    وَلا     
Pada kalian/diri     :    بِكُمْ
kalian     Kalian jemu     :    تَسْأَمُوا     
Dan bertaqwalah     :    وَاتَّقُوا    Untuk     :    أَنْ     
Allah     :    اللَّهَ    Menuliskannya     :    تَكْتُبُوهُ     
Dan mengajar kalian     :    وَيُعَلِّمُكُمُ    (baik) kecil)     :    صَغِيرًا     
Allah     :    اللَّهُ    Atau     :    أَوْ     
Dan Allah     :    وَاللَّهُ    Besar     :    كَبِيرًا     
Dengan segala     :    بِكُلِّ    Sampai     :    إِلَى     
Sesuatu     :    شَيْءٍ    Jatuh tempo     :    أَجَلِهِ     
Maha mengetahui     :    عَلِيمٌ    Demikian itu     :    ذَلِكُمْ         
    Lebih adil    :    أَقْسَطُ    




Tafsir Al-Mufradat

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ    :    Maksudnya muamalat seperti jual beli, sewa menyewa, utang piutang dll.      
بِدَيْنٍ    :    Misalnya pinjaman atau pesanan      
فَاكْتُبُوهُ    :    Untuk pengukuhan dan menghilangkan pertikaian nantinya      
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ    :    Maksudnya benar tanpa menambah atau mengurangi jumlah utang atau jumlah temponya      
وَلا يَأْبَ    :    Keberatan      
كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ    :    Telah diberinya karunia pandai penulis, maka janganlah dia kikir menyumbangnya.      
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ    :    Karena dialah yang dipersaksikan, maka hendaklah diakuinya agar diketahuinya kewajibannya      
أَوْ ضَعِيفًا    :    Untuk mengimlakkan disebabkan terlalu muda, atau terlalu tua.      
فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ    :    Misalnya bapak, orang yang diberi amanat, yang mengasuh/ menerjemahkannya     
شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ    :    Dua orang islam yang telah baligh bagi mereka      
وَلا تَسْأَمُوا    :    Bosan      
أَنْ تَكْتُبُوهُ    :    Utang-utang yang kamu saksikan, karena memang banyak orang yang merasa jemu/bosan itu.      
إِلَى أَجَلِهِ    :    Sampai batas waktu membayarnya      
ذَلِكُمْ    :    Surat-surat tersebut      
وَأَدْنَى    :    Lebih kecil kemungkinannya      
أَلا تَرْتَابُوا    :    Yakni mengenai besarnya utang dan jatuh tempo      
تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ    :    Yang kamu pegang dan tidak mempunyai waktu berjangka      
وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ    :    Misalnya dengan mengubah surat tasdi, atau tidak hendak menjadi saksi/menuliskannya, begitu pula orang yang mempunyai utang tidak boleh ia membebani si penulis dengan hal-hal yang tidak patut untuk ditulis.    

Munasabah
Ayat ini merupakan lanjutan dari ayat-ayat yang menerangkan keutamaan sedekah, manafkahkan harta di jalan Allah yang timbul dari hati sanubari, semata-mata karena Allah dan dilandasi dengan rasa kasih sayang terhadap sesama manusia. Selanjutnya Allah melarang melakukan riba dan menerangkan keburukannya, karena riba itu semata-mata dilakukan untuk mencari keuntungan, tanpa mengindahkan kesulitan dan kesukaran orang lain. Pada ayat ini Allah menerangkan ketentuan-ketentuan dalam muamalah, yang didasarkan pada keadilan dan kerelaan masing-masing pihak, sehingga menghilangkan keragu-raguan, prasangka dsb.

Tafsir Ayat
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap melakukan transaksi utang piutang melengkapinya dengan alat-alat bukti, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul dikemudian hari.  Ayat ini adalah ayat yang terpanjang dalam al-qur’an dan berbicara soal hak manusia. Yaitu memelihara hak keuangan masyarakat, Ayat ini menjelaskan cara yang benar bertransaksi supaya bertransaksimasyarakat terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman dan agar kedua pihak tidak merugi.
Al-hajr berarti larangan dan penyempitan  atau pembatasan. Dengan demikian al-hajr maksudnya seseorang dilarang melakukan tindakan hukum. Menurut ulama mahzab hanafi Al-hajru adalah larangan bagi seseorang untuk melakukan tindakan hukum. Dalam surat Al-baqarah 282 yang menunjukan ayat al-hajr adalah:
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
 “Maka jika orang yang berkewajiban itu seorang yang fasih atau lemah atau dia tidak sanggup merencanakan, maka hendaklah walinya yang merencanakan dengan adil”
Di dalam ayat di atas terdapat tiga orang yang bersangkutan tidak bisa turut dalam penyusunan surat perjanjian yaitu :
-    Orang safih ialah orang yang tidak pandai mengatur harta-hartanya sendiri baik karena borosnya atau bodohnya.
-    Orang yang dhaif (lemah) ialah anak kecil yang belum mumayyiz atau orang tua yang telah lemah ingatannya, atau anak yatim kecil yang hidup asuhan orang lain.
-    Orang yang tidak sanggup membuat rencana ialah orang yang bisu atau gagap atau gagu.
Pada ketiga orang itu hendaklah walinya yang tampil menyampaikan atau mendektekan yang mesti ditulis oleh penulis. Wali tersebut harus adil dan mengetahui tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan mualamah dan hendaknya berhati-hati dalam melaksanakan tugas perwalian.
Dilihat dari segi tujuannya ulama fiqih membagi al-hajru kepada 2 bentuk:
1.    Untuk kemaslahatan orang yang berada dibawah pengampuan, seperti anak kecil, orang gila, orang dungu, dan pemboros.
2.    Untuk kemaslahatan orang lain, seperti orang pailit dan orang yang sedang dalam keadaan sakit parah.
Yang termasuk orang yang dicegah mengunakan hartanya adalah:
-    Anak kecil
Ulama hanafiyah dan malikiyah membedakan anak yang belum mumayiz (belum mencapai umur 7 tahun) denan anak yang sudah mumayiz (berumur 17 tahun). Dari hadits nabi Muhammad SAW beliau menyatakan bahwa anak yang sudah berumur 10 tahun termasuk mumayiz  dan dalam hukum-hukum tertentu mereka telah dituntut untuk melakukunya. Anak kecil dilarang dicegah dalam mengunakan hartanya karena dia belum mampu merencanakan dan mengelola hartanya.
Dengan demikian, Peranan wali sangat penting termasuk mengenai hak anak itu. Harus di dasarkan atas kemaslahatan anak itu sendiri. Apabila wali anak itu orang kaya, dia tidak boleh mengambil nafkahnya dari harta anak itu. Sekiranya tidak punya maka dapat mengambil sekedarnya untuk menutupi keperluan sehari-hari.
-    Orang gila
Para ulama fiqih membedakan orang gila yang sifatmya permanent dan orang gila yang sewaktu-waktu kambuh.Orang gila yang permanent disamakan dengan orang yang tidak berakal sama sekali.Dengan demikian ,tindakan mereka secara hukum sama dengan anak kecil yang belum mumayiz. Semua tindakannya diaggap tidak sah. Orang gila yang kambuhan , harus dilihat dulu keadaannya. Apabila dia bertindak secara hukum pada saat dia kambuh, maka tindakannya tidak sah. Tetapi apabila dia bertindak pada saat sehat , maka tindakanmya dianggap sah, karena dia benar dalam keadaan sadar.
-    Orang bodoh atau dungu
Ulama fiqih menyatakan,bahwa yang termasuk kedalam kelompok orang bodoh adalah orang yang menghambur-hamburkan uangnya untuk hal-hal yang dilarang oleh agama. Apabila ditemukan orang seperti ini, maka menurut pendapat ulama, orang itu dapat dikenakan al-hajr melalui ketetapan hakim. Seluruh tindakkan yang dapat merugikan dirinya dianggap batal Berkenaan dengan nafkah dan talak untuk menetapkan sah atau tidak, sangat bergantung kepada