Minggu, 01 Juli 2012

Pengertian Bunga Bank dan Riba


A.    PENGERTIAN BUNGA BANK
Bank (perbankan) adalah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain. Selain itu juga bank tersebut mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang bank atau giral. Menurut Fuat Mohd Fachruddin berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bank menurut istilah adalah suatu perusahaan yang memperdagangkan utang-piutang, baik yang berupa uangnya sendiri maupun uang orang lain.
Rente adalah istilah yang berasal dari bahasa belanda yang dikenal dengan bunga. Rente menurut Fuat Fachruddin sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan adalahkeuntungan yang diperoleh perusahaan bank, karena jasanya meminjamkan uang untuk melancarkan perusahaan orang yang meminjam. Bunga menurut fatwa MUI adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.  Menurut M.Hatta ada perbedaan antara riba dan rente, Riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif.
Menurut sejarahnya dan kenyataannya, bank adalah sesuatu perusahaan yang bertujuan untuk mencari keuntungan yang diperoleh dari selisih bunga yang harus dibayarkan kepada pemberi pinjaman. Kalau bank membayar bunga 3% kepada orang yang memberi pinjaman , sedang ia menerima 5% dari yang meminjam, maka ia mendapatkan keuntungan 2%. Disamping itu, bank mendapat imbalan bagi kegiatan-kegiatan lainya. Diantara kegiatan-kegiatan bank adalah:
1.      Menerima simpan pinjam
2.      Member pinjaman kepada orang atau badan yang memerlukan
3.      Mengirim uang
4.      Mempertukarkan mata uang
5.      Mengeluarkan uang kertas
Pandangan islam tentang pelaksanaan menerima pinjaman dan memberikan pinjaman dengan menggunakan bunga? Apakah ini termasuk riba yang dilarang oleh agama atau tidak


B.     RIBA
Riba secara bahasa berarti al- Ziyadah artinya tambahan , sedangkan menurut termonologi:
الربا هو فضل خال عن عوض شرط لأ حد العاقدين
riba adalah kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari dua orang yang bertransaksi.
 Bila dikaitkan dengan utang piutang, maka riba adalah tambahan tanpa imbalan yang disyaratkan oleh pihak yang meminjamkan atau berpiutang kepada peminjam.
Para ulama sepakat tentang riba dalam jual beli ada dua bagian yaitu riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena adanya penundaan pembayaraan uang, riba ini diharamkan karena keadaan dirinya .Dan  Riba fudhuli adalah riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda yang sejenis, hukumnya diharamkan karena untuk mencegah timbulnya riba nasi’ah.
Pelarangan riba tidak hanya dalam ajaran islam saja, akan tetapi sudah menjadi musuh bersama, penyakit social yang laten dan ancaman yang universal bagi semua bangsa dan umat baik yahudi, yunani, romawi dan Kristen. Ajaran yahudi sebenarnya melarang praktek pengambilan bunga. Seperti dalam perjanjian lama, Talmud, Exodus pasal 22 ayat 25, dan Kitab Deuteronomy (ulangan) pasal 23 ayat 19. Praktek pengambilan bunga juga dicela oleh para filosof yanani yaitu plato dan aristoteles. Plato mengcam system bunga berdasarkan dua alas an yaitu:
1.      Bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
2.      Bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengekploitasi golongan miskin
Adapun dampak praktek riba antara lain adalah:
1.      Menyebabkan pemerasaan oleh si kaya dan si miskin
2.      Uang modal besar yang dikuasai oleh The Haves tidak disalurkan kepada usaha-uasha yang prodktif
3.      Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan berantakan rumah tangga, jika peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya.
Islam jelas mengharamkan riba melalui ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, seperti:
Ali Imron ayat 130
يا أيها الذين امنوا لا تأكلوا الربا أضعفا مضاعغا
“hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda.”
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 275
وأحل الله البيع وحرم الربا                                                                                             
“allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Hadits nabi dari Jabir:
عن جابر لعن رسول الله صلى الله عايه وسلم آكل الربا ومواكله وكاتبه وشاهديه
“dari jabir, Rasulullah SAW melaknat pemakan riba yang mewakilkannya ,penulisnya, dan yang menyaksikannya

Tujuan Ekonomi Islam


Ekonomi Islam adalah suatu ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan syari'ah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan sumber daya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat. (Hasanuzzaman, 1984: 8) Dan ekonomi Islam dapat juga didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekologis. (Chapra, 1996: 33)
Tujuan ekonomi Islam itu sebagaimana tujuan dari syariat Islam itu sendiri (maqashid asy syari'ah), yaitu mewujudkan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, serta kehidupan yang baik dan terhormat (hayyatan toyyiban).[1] Dalam definisi kesejahteraan dalam Islam yang tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik tentang definisi "kesejahteraan" itu sendiri.
Pandangan ekonomi Islam tentang kesejahteraan tentu saja didasarkan atas keseluruhan ajaran Islam tentang kehdiupan ini. Konsep kesejahteraan ini sangatlah berbeda dengan konsep dalam ekonomi konvensional, sebab ia merupakan konsep yang holistic. Secara singkat kesejahteraan yang diinginkan oleh ajaran Islam adalah:
  1. Kesejahteraan holistic dan seimbang, yaitu mencakup dimensi material maupun spiritual serta mencakup individu maupun soisal. Sosok manusia terdiri atas unsur fisik dan jiwa, karenanya kebahagiaan haruslah seimbang di antara keduanya. Demikian pula manusia memiliki dimensi individual, tetapi tentu saja ia tidak dapat terlepas dari lingkungan social. Manusia akan merasa bahagia jika terdapat keseimbangan di antara dirinya sendiri dengan lingkungan sosialnya.
  2. Kesejahteraan di dunia maupun di akhirat, sebab manusia tidak hanya hidup di alam dunia saja tetapi juga di alam akhirat (the hereafter). Jika kondisi ideal ini tidak dapat dicapai makan kesejahteraan di akhirat tentu lebih diutamakan, sebab ia merupakan suatu kehidupan yang dalam segala hal lebih bernilai (valuable).[2]
Istilah umum yang banyak digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan hidup sejahtera secara material-spiritual pada kehidupan di dunia maupun akhirat dalam bingkai ajaran Islam adalah falah. Dalam pengertian sederhana falah adalah kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistic.
Sebenarnya, tiddaklah mudah untuk mencari padanan kata falah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, sebab ia berasal dari akar kata bahasa Arab flh. Dalam bentuk verbalnya falah, yuflihu berarti berkembang pesat, menjadi bahagia, memperoleh keberuntungan atau kesuksesan atau menjadi sukses. Di dalam al-Qur'an kata falah terdapat pada 40 tenpat. Falah menyangkut konsep yang bersifat dunia dan akhirat. Untuk kehidupan dunia, falah mencqaup tiga pengertian, yaitu kelangsungan hidup (survival/baqa'), kebebasan darikemiskinan (freedom from want/ghana) serta kekuatan dan kehormatan (power and honour/'izz). Semenatra itu untuk kehdiupan akhirat, falah mencakup pengertian kelangsungan hidup yang abadi (eternal survival/baqa' bila fana'), kesejahteraan abadi (eternal prosperity/ghana bila faqr), kemuliaan abadi (everlasting glory/'izz bila dhull) dan pengetahuan yang bebas dari segala kebodohan (knowledge free of all ignorance/'ilm bila jahl).
Menurut al-Qur'an, tuuan kehidupan manusia pada akhirnya adalah falah di akhirat, sedangkan falah di dunia hanya merupakan tujuan antara (yaitu sarana untuk mencapai falah akhirat). Dengan kata lain, falah di dunia merupakan intermediate goal (tujuan antara), sedangkan akhirat merupakan ultimate goal (tujuan akhir). Akhirat merupakan kehidupan yang diyakini nyata-nyata ada dan akan terjadi, dan memiliki nilai kuantitas dan kualitas yang lebih berharga dibandingkan dunia. Hal ini tidak berarti bahwa kehidupan di dunia tidak penting atau boleh diabaikan. Bahkan, kehidupan dunia merupakan ladang bagi pencapai tujuan akhirat. Jika ajaran Islam diterapkan secaa menyeluruh dan sungguh-sungguh, maka niscaya akan tercapai falah di dunia dan di akhirat sekaligus.[3]
Menurut Muhammad Umar Chapra, salah seorang ekonom muslim, tujuan kegiatan ekonomi tersebut dapat dirumuskan menjadi 4 macam.
  1. Kegiatan ekonomi atau muamalah bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas, norma-norma moral islami. Agama Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati rizki dsari Allah namun tidak bleh berlebihan dalam pola konsumsi. Di samping itu Allah SWT mendorong hamba-Nya untuk bekerja keras mencari rizki setelah melakukan shalat Jum'at. (QS. 62:10). Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia seperti bertani, berdagang dan usaha-usaha lainnya dianggap sebagai ibadah, hal ini menunjukkan bahwa usaha untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang lebih baik harus menjadi salah satu tujuan masyarakat muslim.
  2. Tatanan ekonomi yang diusahakan bertujuan untuk membina persaudaraan dan menegakkan keadilan universal. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia jangan sampai menimbulkan rasa permusuhan, peperangan dan ketidakadilan ekonomi sebagaimana yang masih banyak dijumpai pada saat ini. "Dengan adanya rasa persaudaraan sesame umat manusia, tidak akan timbul perebutan sumber-sumber ekonomi dan yang adalah bertolong-tolongan untuk kesejahteraan bersama. (QS. 5:2)
  3. Distribusi pendapatan yang seimbang. Islam mempunyai komitmen yang tinggi terhadap persaudaraan manusia dan keadilan, oleh karena itu, ketidakadilan ekonomi tidak dibenarkan dalam Islam. Ketidakmerataan ekonomi tersebut hanya akan diruntuhkan rasa persaudaraan antarsesama manusia yang ingin dibina oleh Islam.
  4. Tatanan ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kebebasan manusia dalam konteks kesejahteraan sosial. Salah satu misi yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW adalah untuk melepaskan manusia dari beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. (QS. 7: 157).[4]
Dalam pandangan Islam, ekonomi adalah khadim (penopang atau sarana pendukung) bagi nilai-nilai dasar seperti aqidah islamiyah, ibadah dan akhlaqul karimah. Maka apabila ada pertentangan antara tujuan ekonomi bagi individu atau masyarakat dengan nilai-nilai dasar itu maka Islam tidak mau peduli dengan tujuan-tujuan tersebut dan sanggup mengorbankan tujuan-tujuan itu dengan kerelaan hati. Hal itu dalam rangka memelihara prinsip-prinsip tujuan dan keutamaan manusia itu sendiri.[5]
Dalam berbagai literatur ilmu ekonomi konvensional dengan mudah dapat dijumpai bahwa tujuan dari manusia dalam memenuhi kebutuhannya atas barang dan jasa adalah untuk mencapai kesejahteraan (well being). Manusia menginginkan kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidupnya dan untuk inilah ia berjuang dengan segala cara untuk mencapainya. Apakah yang disebut sejahtera? Bagaimana keadaan yang dapat disebut sebagai bahagia dan sejahtera, apa syarat-syaratnya, apa kriterianya dan akhirnya bagaimana cara mencapainya?
Konsep kesejahteraan yang dijadikan tujuan dalam ekonomi konvensional ternyata sebuah terminology yang kontroversial, karena dapat didefinisikan dengan bayak pengertian. Salah satunya diartikan dalam perspektif materialisme dan hedonisme murni, sehingga keadaan sejahtera terjadi manakala manusia memiliki keberlimpahan (tidak sekedar kecukupan) material. Perpesktif seperti inilah yang digunakan secara luas dalam ilmu ekonomi konvensional saat ini. Pengertian kesejahteraan seperti ini menafikan keterkaitan kebutuhan manusia dengan unsur-unsur spiritual/norma, atau mungkin hanya dengan sedikit kaitan. Dengan pengertian seperti ini maka tidaklah mengherankan kalau konfigurasi barang dan jasa yang harus disediakan adalah yang memberikan porsi keunggulan pada pemenuhan kepentingan pribadi, maksimasi kekayaan kenikmatan fisik dan kepuasan hawa nafsu.[6]
Jadi, kesimpulan dari tujuan ekonomi Islam maupun ekonomi konvensional ujung permasalahannya adalah sama-sama mencari "kesejahteraan". Memandang daripada konsep kesejahteraan dari sisi pandangan ekonomi Islam dengan pandangan ekonomi konvensional seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya sangatlah berbeda. Secara singkat kesejahteraan dalam prospek ajaran Islam adalah kesejahetraan holistik dan seimbang serta kesejahteraan di dunia dan di akhirat kemudian kesejahteraan dalam prospek ekonomi konvensional adalah kesejahteraan yang memberikan porsi keunggulan pada pemenuhan kepentingan keduniawian saja.



[1] Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islam, (Yogyakarta: 2003), 7.
[2] Ibid., 6.
[3] Ibid., 9.
[4] Ekonomi Syariah on Desember 21, 2009.
[5] Yusuf Qardhawi, cetakan pertama Januari 1997, Citra Islami Press.
[6] Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi……,

PENDAPAT ULAMA TENTANG BUNGA BANK


Ada tiga pendapat  tentang persoalaan apakah bunga bank itu sama dengan riba yaitu:
1.      Bunga bank adalah riba dan karenanya dianggap haram
2.      Membolehkan bunga ank karena dianggap tidak sama dengan riba yang diharamkan oleh syariat islam
3.      Bunga bank haram tapi karena belum ada jalan keluar untuk mengindarinya, maka diperbolehkan.
Para ulama dan cendekiawan muslim masih berbeda pendapat tentang hukum muamalah dengan bank konvensional dan bunga bank diantaranya:
Abu zahrah, abu ‘ala al-Maududi Abdullah al- ‘Arabi dan yusuf Qardhawa mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh islam. Karena itu umat islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurut beliau bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga. Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank,
Musthafa Ahmad Zarqa Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata pada universitas syiria di Damaskus mengatakan, berpendapat bsebagai berikut:
a.       System prbankan yang berlaku sampai kini dapat diterima sebagai suatu penyimpangan yang bersifat sementara. Dengan kata lain istem perbankan merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari sehingga umat islam diperbolehkan bermuamalah atas dasar pertimbangan darurat, tetapi umat islam harus senantiasa berusaha mencari jalan keluar.
b.      Pengertian riba dibatasi hanya mengenai praktek riba di kalangan jahiliyah yaitu yang benar-benar merupakan suatu pemerasan dari orang-orang mampu (kaya) terhadap orang-orang miskin dalam utang-piutang yang bersifat konsumtif, bukan utang-piutang yang bersifat produktif.
c.       Bank-bank dinasionalisasi sehingga menjadi perusahaan Negara yang akan menghilangkan unsure-unsur ekploitasi. Sekalipun bank Negara mengambil bunga sebagai keuntungan, penggunanya bukan untuk orang-orang tertentu, melainkan akan menjadi kekayaan Negara yang akan digunakan untuk kepentingan umum.
Ulama di negara-negara Timur Tengah dan beberapa orang pakar ekonomi di negara sekuler, berpendapat bahwa riba tidaklah sama dengan bunga bank. Seperti Mufti Mesir Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir. Doktor Ibrahim dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba”. Mr. Kasman Singodimedjo berpendapat, sistem perbankan modern diperbolehkan karena tidak mengandung unsur eksploitasi yang dzalim, oleh karenanya tidak perlu didirikan bank tanpa bunga. A.Hasan Bangil, tokoh Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal karena tidak ada unsur lipat gandanya. Prof.Dr.Nurcholish Madjid berpendapat bahwa riba di mengandung unsur eksploitasi satu pihak kepada pihak lain, sementara dalam perbankan (konvensional) tidaklah seperti itu. Dr.Alwi Shihab dalam wawancaranya dengan Metro TV sekitar tahun 2004 lalu, juga berpendapat bunga bank bukanlah riba.
Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar di sidoarjo Jawa Timur tahun 1968 memutuskan bahwa; a) Riba hukumnya haram dengan nash sharih Qur’an dan sunah, b) Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal, c) Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik Negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabiat , d) menyarankan kepada PP muhammadiya untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah islam.
Dapat disimpulkan bahwa ada empat pendapat yang berkembang dalam masyarakat mengenai masalah bunga bank yaitu:
1.      Pendapat yang mengharamkan.
2.      Pendapat yang mengharamkan bila bersifat konsumtif dan tidak haram bila bersifat produktif.
3.      Pendapat yang membolehkan (tidak haram)
4.      Pendapat yang mengatakan subhat.
Lajnah Bahtsul Masail NU berpendapat mengenai bank dan pembungaan uang  meskipun ada perbedaan pandangan , memutuskan bahwa pilihan yang lebih berhati-hati ialah pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank adalah haram.
Apa yang disarankan oleh Muktamar Muhammadiyah di atas, saat ini sepertinya telah terjawab, hal itu dibuktikan dengan telah menjamurnya bank-bank yang berprinsipkan syariah,seperti bank muamalat dan sebagainya. Bahkan di bank konvensional pun telah dibuka bank yang menggunakan system syariah. , lebih jauh lagi MUI dalam dua tahun ini telah mengeluarkan fatwa mengenai haramnya umat islam bermuamalah dengan menggunakan bank konvensional yang menggunakan system bunga, hal itu karena telah banyak bank yang menggunakan system syariah.

Hadits Tentang Riba


A.    Hadits Tentang Riba
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (مسلم)

Dikatakan Muhammad ibn ash-shobbah dan zuhairu ibn harb dan utsmann ibn abi syaibah mereka berkata diceritakan husyaim dikabarkan abu zubair dari jabir r.a beliau berkata : Rasulullah SAW mengutuk makan riba, wakilnya dan penulisnya, serta dua orang saksinya dan beliau mengatakan mereka itu sama-sama dikutuk. Diriwayatkan oleh muslim.
قوله : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه وقال : هم سواء ) , هذا تصريح بتحريم كتابة المبايعة بين المترابين والشهادة عليهما . وفيه : تحريم الإعانة على الباطل . والله أعلم

Maksudnya, Rasulullah SAW memohon do’a kepada Allah agar orang tersebut dijauhkan dari Rahmat Allah. Hadits tersebut menjadi dalil yang menunjukan dosa orang-orang tersebut dan pengharaman sesuatu yang mereka lakukan. Dikhususkan makan dalam Hadits tersebut, karena itulah yang paling umum pemanfaatan penggunaannya. Selain untuk makan, dosanya sama saja. Yang dimaksud موكله itu adalah orang yang memberikan riba, karena sesungguhnya tidak akan terjadi riba itu kecuali dari dia. Oleh karena itu, dia termasuk dalam dosa. Sedangkan dosa penulis dan saksi itu adalah karena bantuan mereka atas perbuatan terlarang itu. Dan jika keduanya sengaja serta menngetahui riba itu maka dosa bagi mereka.
Dalam suatu riwayat telah dipaparkan, beliau telah mengutuk seorang saksi dengan mufrad  (tungggal) karena dikehendaki jenisnya. Lalu juga kamu katakan hadits yang artinya : S “ Ya Allah apa-apa yang saya kutuk, jadikanlah dia sebagai rahmat, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan dalam matan lain  ”apa yang saya kutuk maka memberatkan orang yang saya kutuk itu “, menunjukan keharamannya. Dan tidaklah dimaksudkann do’a yang sebenarnya yang membahayakan orang beliau do’akan.
Itu jika orang yang dikutuk tersebut bukan yang melakkukan perbuatan yang diharamkan dan tahu kutukan itu dalam keadaan Rasulullah marah.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عن النبي ص.م: الربا ثلاثة وسبعون بابا ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه وان اربى الربا عرض الرجل المسلم(رواه ابن ماجه فحتصر والحاكم بتمامه وصجيح)

Dari Abdullah bin mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda: Riba itu ada 73 pintu. Yang paling ringan diantarannya ialah seperti seseorang laki-laki yang menikahi ibunya, dan sehebat-hebattnya riba adalah merusak kehormatan seorang muslim. (diriwayatkan oleh ibnu majah dengan rigkas dan olah al-hakim selengkapnya dan beliau menilainya sahih.
Adapun yang semakna dengan hadits tersebut terdapat beberapa Hadits. Telah ditafsirkan riba dalam hal merusak nama baik atau merusak kehomatan seorang muslim sama saling mencaci maki.
Dalam Hadits tersebut disebutkan bahwa riba itu bersifat mutlak terhadap perbuatan yang diharamkan, sekalipun bukan termasuk dalam bab ribayang terkenal itu. Penyamaan riba yang paling ringan dengan seseora ng yang berzina dengan ibunya seperti sudah disebutkan tadi karena dalam perbuatan riba itu terdapat tindasan yang menjijikkan akal yang  normal.
عن ابي سعيد الخدرى رضى الله عنه ان رسول الله ص.م قال لاتبعوا الذهب الا مثل ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبعوا الورق با لورق الا مثلا بمثل, ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبيعوا منها غائبا بناخر (متفق عليه)

Dari abi Said al-khudari r.a ( katanya): sesungguhnya Rasulullah bersabda :Jangnanlah kamu menjual dengan emas kecuali yang sama nilainya, dan janganlah kamu menjual uang dengan uang kecuali yang sama nilainnya, dan jangganlah  kamu menambah  sebagian atas sebagiannya, dan jannganlah kammu menjual yang tidak kelihatan diantara dengan yang nampak. (muttafaq Alaihih).
Hadits tersebut menjadi dalil yang menunjukan pengharaman jual emas dengan emas, dan perak dengan perak yang lebih kurang (yang tidak sama nilainya) baik yang satu ada di tempat jual beli dan yang lain tidak ada ditempat penjualan berdasarkann sabdanya “kecuali sama nilaiya”. Sesungguhnya dikecualikan dari itu dalam hal-hal yang paling umum, seakan-akan beliau bersabda: janganlah kamu jual- belikan emas dan perak itu dalam keadaan yang bagaimanapu, kecuali dalam keadaan yang sama nilainya ataupun harganya emas dan perak itu sendiri[1].

B.     Macam-Macam Riba
Menurut para ulama fiqih, riba dapat dibagi menjadi empat macam, masing-masing[2] :
1.      Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan.
Contoh : tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan sebagainya.
2.      Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi orang yang meminjami atau mempiutangi.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
3.      Riba Yad yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya : orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang tersebut dari sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
4.      Riba Nasi’ah yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupn tidak sejenis yang pembayarannya disyaraktkan lebih, dengan diakhiri atau dilambatkan oleh yang meminjam.
Contoh : Aminah membeli cincin seberat 10 Gram. Ole penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan apalagi terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun.



[1] As-shanani, subulussalam, terjamahan Abu Bakar Muhammad (Surabaya: Al-Ikhlas,1995), 126-128